Berkaca pada sejarah, di mana rakyat membutuhkan didengar,
disuarakan hatinya, mahasiswa siap menyuarakannya dengan lantang. Indonesia tak
lepas dari gejolak darah muda yang resah melihat sekelilingnya. Bukan resah
karena putus cinta atau kasih bertepuk sebelah tangan, tapi resah karena rakyat
kelaparan dan dipaksa lapar. Dulu, kami sangat yakin! Jangan pernah buat rakyat
sengsara kalau tidak ingin berhadapan dengan kekuatan mahasiswa!!!

Kini, kami berharap, keyakinan itu
tak luntur apalagi memudar sirna. Saya percaya mahasiswa masih resah. Tapi,
pertanyaan saya, di mana mereka? Di mana suara lantang penuh heroisme dan
ketulusan menyuarakan kebenaran dan bukan karena bayaran. Tak cukupkah
pemandangan antre minyak tanah di berbagai pelosok negeri? Tak cukupkah
kelaparan menggantung di awan indonesia? Tak cukupkah harga-harga melambung
tinggi yang mencekik rakyat membangkitkan perlawanan?
Ah, kami terlalu berharap besar pada
mahasiswa? Mereka juga manusia biasa.
Tapi, entahlah kami mulai menaruh
curiga pada enggannya mahasiswa untuk bergerak. Kecurigaan yang sejak dulu kami
cium dari aroma “otonomi kampus” yang menyingkirkan mahasiswa miskin tapi
pintar untuk menjauh dari kampus kenamaan seperti UGM, UI, ITB, IPB dan UNAIR.
Logika kami sederhana, kalau biaya
pendidikan menjadi tak terjangkau rakyat miskin, lantas siapa yang bisa masuk
ke pendidikan tinggi ternama kalau bukan mereka rakyat berduit dan kaya? Lantas
apa relevansinya? Jelas sekali, meski tak berdasar, mayoritas yang bisa kuliah
di PTN adalah mereka yang perutnya kenyang dan jauh dari keseharian rakyat
lapar. Kehidupan mahasiswa yang akademic oriented dan cenderung hedonis
melupakan fungsi lain dari status yang bernama mahasiswa. Mahasiswa enggan
bersentuhan dengan dunia aktifitas sosial masyarakatnya. Pengabdian mahasiswa
pada masyarakat sudah bukan jamannya lagi, Tri Dharma Perguruan tinggi lebih
hanya slogan kering makna.
Mahasiswa di tengah pungutan iuran
yang mahal akan berpikir sejuta kali untuk terlibat aktif dalam aktifitas
sosial di luar kegiatan akademik. Kalkulasi ekonomi biaya yang mereka keluarkan
selama perkuliahan tak sepadan dengan ganjaran resiko Drop Out seandainya dia
menjadi aktifis yang vokalis. Tampaknya, skenario NKK BKK di masa Daoed
Joesoef dengan otonomi kampus di era pasca reformasi memiliki kesamaan, meski
dengan cara yang berbeda.
Sebaiknya kami berhenti berharap
pada mahasiswa, karena memang mereka terlalu terbebani dengan hutang ekonomi
yang besar untuk mendapat “pendidikan yang lebih baik” dari PTN terkemuka
negeri ini.
